Idealisme yang Tergadai

Share on :



Musik merupakan sarana budaya yang hadir dalam masyarakat sebagai konstruksi dari realitas sosial yang dituangkan dalam bentuk lirik lagu. Pada  awalnya kebutuhan lagu digunakan untuk kepentingan upacara adat dan upacara ritual. Tetapi, seiring perkembangan masyarakat musik telah tertransformasi bergeser menjadi sebuah komoditi yang dikomersialisasikan dan menjadi barang ekonomi yang diperjualbelikan.
Pesan atau ide yang disampaikan melalui musik atau lagu biasanya memiliki keterkaitan dengan konteks historis. Muatan lagu tidak hanya sebuah gagasan untuk menghibur, tetapi memiliki pesan-pesan moral atau idealisme dan sekaligus memiliki kekuatan ekonomis.
Perkembangan musik dewasa ini lebih menyesuaikan dengan selera pasar, sehingga industri musik lebih banyak melahirkan lagu-lagu yang laku keras dipasaran, misalnya lagu-lagu pop yang bertemankan percintaan. Hal ini berbeda sekali dengan misi-misi dari musisi yang peduli pada kondisi sosial, misalkan Iwan Fals, Franky Sahilatua, Sawung Jabo, Setiawan Djody, atau pun Grup Musik Kantata, Slank, Edane dan lain-lain. Walaupun demikian perkembangan lagu-lagu yang bertemakan kritik sosial ternyata juga dimanfaatkan oleh industri musik untuk mendapatkan akumulasi modal yang semakin besar.
Iwan Fals merupakan sosok yang cukup konsisten dalam perjuangan menggugat Orde Baru. Kritik-kritik pedas dan lugas selalu dilontarkan dalam setiap karyanya. Wacana kritik dalam karya Iwan Fals ternyata didukung oleh sebagian besar masyarakat terutama lapisan bawah, karena lagu tersebut mewakili dan menyuarakan hati nurani rakyat. Dukungan itu termanifestasikan dengan terbentuknya fans-fans fanatik yang sering disebut Oi (Orang Indonesia). 
Selama Orde Baru, banyak jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh aparat pemerintah, karena lirik-lirik lagunya dianggap dapat memancing kerusuhan. Pada awal karirnya, Iwan Fals banyak membuat lagu yang bertema kritikan pada pemerintah. Beberapa lagu itu bahkan bisa dikategorikan terlalu keras pada masanya, sehingga perusahaan rekaman yang memayungi Iwan Fals tidak berani memasukkan lagu-lagu tersebut dalam album untuk dijual bebas.
Lagu-lagu tersebut hanya sebagian kecil dari banyak lagu Iwan Fals yang menyuarakan wacana kritis terhadap kehidupan di zaman Orde Baru. Tema kritik tersebut setidaknya telah mematahkan wacana trilogi pembangunan, karena pemerataan yang diharapkan dari pembangunan tidak pernah terwujud. Pembangunan nasional yang berlandaskan pada ”Trilogi Pembangunan” hanya sebuah narasi besar dan sebuah mitos belaka.
Tetapi keberhasilan lagu-lagu Iwan Fals tersebut dapat juga dilihat sebagai sebuah pemanfaatan isu yang dikonsturksikan dalam bentuk lagu yang akhirnya mengehegemoni masyarakat sebagai pendengar dan juga sebagai konsumen produk industri musik. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya komodifikasi terhadap wacana kritik sosial, sehingga esensi kritik terebut patut dipertanyakan.
Dalam esai ini bagaimana sebuah komodifikasi itu hadir dalam lirik-lirik lagu yang bertemakan kritik sosial, dalam hal ini yaitu lagu Galang Rambu Anarki, dan Bento,“. Kondisi ini memperlihatkan adanya pertarungan antara idealisme musisi dan industri musik yang secara tidak langsung menjadi corong utama dalam pemasaran lagu tersebut. Sehingga memunculkan pertanyaan apakah lirik-lirik kritik sosial yang idealis itu hanya sebuah komoditi untuk kepentingan ekonomi politik kapitalis ?, atau adakah pesan tersebut menjadi inspirasi bagi perubahan sosial dalam masyarakat ?.
Karya seni berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi.  Lagu sebagai bagian dari seni memiliki konteks yang juga menginventariskan kejadian-kejadian, tetapi tidak semua lagu memiliki makna sebagai gambaran terhadap realitas sosial. Hal ini dikarenakan perkembangan dewasa ini lagu atau seni musik lebih dekat pada industri musik dan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan pasar, sehingga pengertian tersebut tidak cukup relevan diera ini.
Bahasan ini memperlihatkan perdebatan antara visi idealisme musisi dengan kepentingan industri musik yang selalu menyesuaikan keinginan pasar. Menurut Adorno ”segala kehidupan musik masa kini didominasi oleh bentuk komoditas yang ditujukan untuk pasar”. Asumsi dasar inilah yang mempertegas mengenai tergadainya idealisme dalam industri budaya dalam hal ini industri musik.
Lagu-lagu Iwan Fals tidak dapat disangkal dan diragukan lagi sebagai bentuk dari kritik sosial. Galang Rambu Anarki dan Bento, merupakan representasi dari gugatan yang selalu menyelimuti lagu-lagu Iwan Fals. Tetapi industri musik telah menjadikannya sebagai barang komersial. Album dari lagu-lagu tersebut terjual laris dipasaran, keuntungan yang diraih oleh produser musik dan juga musisinya cukup melimpah. Suksesnya album-album tersebut dikarenakan matangnya pemotretan isu oleh musisi dan juga peluncuran album yang telah di setting oleh industri musik, melalui survei dan lain sebagainya. Adorno menggambarkan kondisi ini dimana ”asas pertukaran telah mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat”.
Pesan moral berupa kritik sosial menjadi bias ketika dihadapkan dengan industri musik yang mengedepankan akumilasi modal yang sebesar-besarnya. Semuanya diobjektivikasi dalam pengertian uang. Pada giliranya hal ini mengandung pengertian bahwa asas pertukaran atau harga tiket, album menjadi asas manfaat yang bertolak belakang dengan pertunjukan musik, asas manfaat sebenarnya yang melatarbelakanginya.
Komersialisasi musik Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial, sama halnya dengan komersialisai musik jazz, yang telah menghilangkan  spirit utama yaitu anti dominasi, hegemoni, rutinisasi, masifikasi, dan tidak lebih dari sekedar McDonaldisasi Jazz, dengan tujuan semata-mata mencari profit.
Lagu Galang Rambu Anarki” dalam Album Opini Tahun 1982 di produksi oleh Musica Studio. Peluncuran album tersebut dengan lagu yang menyuarakan hati nurani masyarakat, menjadikan lagu tersebut cukup akrab didengar oleh masyarakat khususnya kelas menengah kebawah. Kondisi ini memperlihatkan pandainya Iwan Fals dan Musica Studio mengambil momen keniakan BBM untuk meluncurkan lagu tersebut. Sehingga lagu tersebut lagu keras dipasaran, inilah semangat ekonomi atau etos kapitalis yang akhirnya menghasilkan profit yang tinggi.
Begitu juga dengan lagu ”Bento” dalam Album Swami II Tahun 1992. lagu tersebut menjadi hits, dan bahkan masih sering terdengar saat ini. Nuansa kritikan tajam terhadap, penguasa yang mulai tidak populer, menjadi konsumsi yang semua kalangan. Dimuatnya di berbagai media masa mengenai lagu tersebut, berkorelasi positif  dengan angka penjualan album yang meningkat tajam.
Lagu-lagu kritik sosial Iwan Fals digandrungi oleh hampir semua generasi tua hingga muda. Fans-fans ada diseluruh Indonesia yang dulunya menamakan diri ”Fals Mania” kemudian pada Tahun 1999 dibentuk ”Yayasan Orang Indonesia” atau sering disebut Oi (Orang Indonesia). Banyaknya fans fanatik memberikan nilai poin plus bagi industri musik yang akan meraup untung dari setiap lirik yang di rilis oleh Iwan Fals. Sehingga komodifikasi lirik-lirik kritik sosial dalam lagu Iwan Fals tidak terelakkan lagi. Kondisi tersebut seperti yang dikatakan oleh Vincent Mosco, sebagai komodifikasi dimana barang atau jasa yang memiliki nilai guna ditransformasikan menjadi komoditi yang memiliki nilai jual di pasaran.
Diakhir tulisan sebenarnya ada pertarungan yang alot antara idealisme musisi dengan industri budaya. Tetapi akhirnya terjadinya kesepakatan antara kedua pihak yaitu untuk memproduksi produk yang kira-kira bakalan laku keras di pasaran. Lagu hanya menjadi produksi massal yang manipulatif demi profit yang maksimal. Itulah gambaran dari lirik-lirik lagu Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial yang menjadi konsumsi masyarakat. Masyarakat atau penikmat musik tergantung dengan hegemoni lirik-lirik pembebasan yang sebenarnya mengingkari makna kebebasan yang terkadung dalam lirik lagu-lagu tersebut.
Kebudayaan massa kapitalis terkomodifikasi tidak autentik karena tidak dihasilkan oleh msayarakat, manipulatif karena tujuan utamanya agar dibeli oleh konsumen. Kebudayaan kini sepenuhnya saling berpautan dengan ekonomi politik dan produksi kebudayaan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis.
Industri musik dibelakang nama besar Iwan Fals, telah memperoleh keuntungan yang cukup besar. Tidak hanya industri musik, musisi tersebut juga mendapatkan profit yang cukup tinggi, dengan agendanya menjual misi sosial demi kesenangan publik yang merasa terwakili oleh sentuhan lirik-lirik pembebasan Iwan Fals. Galang Rambu Anarki dan Bento adalah salah satu dari banyak lagu yang menjadi hits dan laris dipasaran.
Kondisi tersebut memperlihatkan adanya manipulasi budaya. Atau dengan bahasa lain, dalam analisis musik pop Adorno, bahwa asas pertukaran mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat.
Kepentingan ekonomi politik dibalik lagu-lagu yang bertemakan kritik sosial telah mengkaburkan esensi dari pesan moral yang disampaikan, dan terasa bias. Sehingga dibutuhkannya sebuah mekanisme kerjasama yang lebih sportif antara musisi yang idealis dengan industri musik yang beorientasi profit, agar semua kepentingan bisa terwakili dalam setiap produk budaya berupa lagu tersebut.


Responses

1 Respones to "Idealisme yang Tergadai"

Unknown mengatakan...

memang pasti ada yang tersembunyi di balik sebuah lirik, atau sebuah kejadian. Salam Blogging


24 Juli 2012 pukul 18.48

Posting Komentar

 

Sahabat Siluet

Return to top of page Copyright © 2012 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors