0 Sitelink Dari Mbah Google



wah, kaget juga ketika saya mencoba seacrh dengan kata kunci siluet huruf. Blog ini mendapatkan site link dari google. Padahal saya sendiri sudah jarang sekali update blog, dikarenakan lagi bener-bener sibuk. Jadi belum sempat untung update blog lagi. Yah, lumayan lah, belum pernah sebelumnya saya mendapat site link seperti ini. hehe. maklumlah, hanya manusia yang sok menyibukkan diri. Saya sendiri dalam dunia blog masih newbie banget.
Wah, malu kalau tulisan seperti ini dibaca oleh webmaster blog. hehe. Salam Bloging saja ya master. Sekian dulu dari saya, Terima kasih kepada mbah Google.
[Read More...]


0 Relung Sunyi



Oleh : Taufiq Ismail F

Hati tak sadar ketika ada rasa luka dalam relung sunyi
Merambat pelan-pelan membuai kasih
Dingin menembus nadi-nadi membekukan darah,
menggigil tercatuk gigi

Perut tak lapar entah kenapa tak tidur
Detik-detik jam dinding mengutukku
dalam sebuah ruang gelap
Tak sedikitpun cahaya

Merindu nasib, dalam dentang-dentang waktu
Berhak tak bertanya malam akan hangatnya impian

Madiun, Mei 2012
[Read More...]


0 Malam Semu




Seri malam tampak pudar
Bias bola-bola lampu, tampak abu-abu
Kubersimpuh menghadapMu, penuh dengan tanya
Roda metal tetap menggelinding penuh
Huruf R, tak bisa lagi menahan nafsu jiwa

Bau harum gula menyelimuti pembawa karung
Menyurut seluruh dingin badan
Memikirmu, merinding tak tentu
Melahap seluruh sel dan otak

Menghisap sebatang duka
Tak tentu melihat arah, batin hanya untukMu

Madiun, Juli 2012
[Read More...]


0 Sejarah Singkat Kahlil Gibran




Khalil Gibran (juga dieja Khalil Gibran; lahir Gibran Khalil Gibran, bahasa Arab: جبران خليل جبران, lahir di Lebanon, 6 Januari 1883 – meninggal di New York City, Amerika Serikat, 10 April 1931 pada umur 48 tahun) adalah seorang seniman, penyair, dan penulis Lebanon Amerika. Ia lahir di Lebanon (saat itu masuk Provinsi Suriah di Khilafah Turki Utsmani) dan menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat.
  
Kehidupan awal

Khalil Gibran lahir di Basyari, Libanon dari keluarga katholik-maronit. Bsharri sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak memengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di College de la Sagasse sekolah tinggi Katholik-Maronit sejak tahun 1899sampai 1902.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk.Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanitaAsia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.
Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.
Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Amerika Serikat

Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.
Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskupyang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnyadan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di Amerika.

Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat. ocix_81

Karya dan kepengarangan

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.
Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.
Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.
Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".

Kematian

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.
Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."



Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kahlil_Gibran
[Read More...]


1 Idealisme yang Tergadai




Musik merupakan sarana budaya yang hadir dalam masyarakat sebagai konstruksi dari realitas sosial yang dituangkan dalam bentuk lirik lagu. Pada  awalnya kebutuhan lagu digunakan untuk kepentingan upacara adat dan upacara ritual. Tetapi, seiring perkembangan masyarakat musik telah tertransformasi bergeser menjadi sebuah komoditi yang dikomersialisasikan dan menjadi barang ekonomi yang diperjualbelikan.
Pesan atau ide yang disampaikan melalui musik atau lagu biasanya memiliki keterkaitan dengan konteks historis. Muatan lagu tidak hanya sebuah gagasan untuk menghibur, tetapi memiliki pesan-pesan moral atau idealisme dan sekaligus memiliki kekuatan ekonomis.
Perkembangan musik dewasa ini lebih menyesuaikan dengan selera pasar, sehingga industri musik lebih banyak melahirkan lagu-lagu yang laku keras dipasaran, misalnya lagu-lagu pop yang bertemankan percintaan. Hal ini berbeda sekali dengan misi-misi dari musisi yang peduli pada kondisi sosial, misalkan Iwan Fals, Franky Sahilatua, Sawung Jabo, Setiawan Djody, atau pun Grup Musik Kantata, Slank, Edane dan lain-lain. Walaupun demikian perkembangan lagu-lagu yang bertemakan kritik sosial ternyata juga dimanfaatkan oleh industri musik untuk mendapatkan akumulasi modal yang semakin besar.
Iwan Fals merupakan sosok yang cukup konsisten dalam perjuangan menggugat Orde Baru. Kritik-kritik pedas dan lugas selalu dilontarkan dalam setiap karyanya. Wacana kritik dalam karya Iwan Fals ternyata didukung oleh sebagian besar masyarakat terutama lapisan bawah, karena lagu tersebut mewakili dan menyuarakan hati nurani rakyat. Dukungan itu termanifestasikan dengan terbentuknya fans-fans fanatik yang sering disebut Oi (Orang Indonesia). 
Selama Orde Baru, banyak jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh aparat pemerintah, karena lirik-lirik lagunya dianggap dapat memancing kerusuhan. Pada awal karirnya, Iwan Fals banyak membuat lagu yang bertema kritikan pada pemerintah. Beberapa lagu itu bahkan bisa dikategorikan terlalu keras pada masanya, sehingga perusahaan rekaman yang memayungi Iwan Fals tidak berani memasukkan lagu-lagu tersebut dalam album untuk dijual bebas.
Lagu-lagu tersebut hanya sebagian kecil dari banyak lagu Iwan Fals yang menyuarakan wacana kritis terhadap kehidupan di zaman Orde Baru. Tema kritik tersebut setidaknya telah mematahkan wacana trilogi pembangunan, karena pemerataan yang diharapkan dari pembangunan tidak pernah terwujud. Pembangunan nasional yang berlandaskan pada ”Trilogi Pembangunan” hanya sebuah narasi besar dan sebuah mitos belaka.
Tetapi keberhasilan lagu-lagu Iwan Fals tersebut dapat juga dilihat sebagai sebuah pemanfaatan isu yang dikonsturksikan dalam bentuk lagu yang akhirnya mengehegemoni masyarakat sebagai pendengar dan juga sebagai konsumen produk industri musik. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya komodifikasi terhadap wacana kritik sosial, sehingga esensi kritik terebut patut dipertanyakan.
Dalam esai ini bagaimana sebuah komodifikasi itu hadir dalam lirik-lirik lagu yang bertemakan kritik sosial, dalam hal ini yaitu lagu Galang Rambu Anarki, dan Bento,“. Kondisi ini memperlihatkan adanya pertarungan antara idealisme musisi dan industri musik yang secara tidak langsung menjadi corong utama dalam pemasaran lagu tersebut. Sehingga memunculkan pertanyaan apakah lirik-lirik kritik sosial yang idealis itu hanya sebuah komoditi untuk kepentingan ekonomi politik kapitalis ?, atau adakah pesan tersebut menjadi inspirasi bagi perubahan sosial dalam masyarakat ?.
Karya seni berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi.  Lagu sebagai bagian dari seni memiliki konteks yang juga menginventariskan kejadian-kejadian, tetapi tidak semua lagu memiliki makna sebagai gambaran terhadap realitas sosial. Hal ini dikarenakan perkembangan dewasa ini lagu atau seni musik lebih dekat pada industri musik dan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan pasar, sehingga pengertian tersebut tidak cukup relevan diera ini.
Bahasan ini memperlihatkan perdebatan antara visi idealisme musisi dengan kepentingan industri musik yang selalu menyesuaikan keinginan pasar. Menurut Adorno ”segala kehidupan musik masa kini didominasi oleh bentuk komoditas yang ditujukan untuk pasar”. Asumsi dasar inilah yang mempertegas mengenai tergadainya idealisme dalam industri budaya dalam hal ini industri musik.
Lagu-lagu Iwan Fals tidak dapat disangkal dan diragukan lagi sebagai bentuk dari kritik sosial. Galang Rambu Anarki dan Bento, merupakan representasi dari gugatan yang selalu menyelimuti lagu-lagu Iwan Fals. Tetapi industri musik telah menjadikannya sebagai barang komersial. Album dari lagu-lagu tersebut terjual laris dipasaran, keuntungan yang diraih oleh produser musik dan juga musisinya cukup melimpah. Suksesnya album-album tersebut dikarenakan matangnya pemotretan isu oleh musisi dan juga peluncuran album yang telah di setting oleh industri musik, melalui survei dan lain sebagainya. Adorno menggambarkan kondisi ini dimana ”asas pertukaran telah mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat”.
Pesan moral berupa kritik sosial menjadi bias ketika dihadapkan dengan industri musik yang mengedepankan akumilasi modal yang sebesar-besarnya. Semuanya diobjektivikasi dalam pengertian uang. Pada giliranya hal ini mengandung pengertian bahwa asas pertukaran atau harga tiket, album menjadi asas manfaat yang bertolak belakang dengan pertunjukan musik, asas manfaat sebenarnya yang melatarbelakanginya.
Komersialisasi musik Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial, sama halnya dengan komersialisai musik jazz, yang telah menghilangkan  spirit utama yaitu anti dominasi, hegemoni, rutinisasi, masifikasi, dan tidak lebih dari sekedar McDonaldisasi Jazz, dengan tujuan semata-mata mencari profit.
Lagu Galang Rambu Anarki” dalam Album Opini Tahun 1982 di produksi oleh Musica Studio. Peluncuran album tersebut dengan lagu yang menyuarakan hati nurani masyarakat, menjadikan lagu tersebut cukup akrab didengar oleh masyarakat khususnya kelas menengah kebawah. Kondisi ini memperlihatkan pandainya Iwan Fals dan Musica Studio mengambil momen keniakan BBM untuk meluncurkan lagu tersebut. Sehingga lagu tersebut lagu keras dipasaran, inilah semangat ekonomi atau etos kapitalis yang akhirnya menghasilkan profit yang tinggi.
Begitu juga dengan lagu ”Bento” dalam Album Swami II Tahun 1992. lagu tersebut menjadi hits, dan bahkan masih sering terdengar saat ini. Nuansa kritikan tajam terhadap, penguasa yang mulai tidak populer, menjadi konsumsi yang semua kalangan. Dimuatnya di berbagai media masa mengenai lagu tersebut, berkorelasi positif  dengan angka penjualan album yang meningkat tajam.
Lagu-lagu kritik sosial Iwan Fals digandrungi oleh hampir semua generasi tua hingga muda. Fans-fans ada diseluruh Indonesia yang dulunya menamakan diri ”Fals Mania” kemudian pada Tahun 1999 dibentuk ”Yayasan Orang Indonesia” atau sering disebut Oi (Orang Indonesia). Banyaknya fans fanatik memberikan nilai poin plus bagi industri musik yang akan meraup untung dari setiap lirik yang di rilis oleh Iwan Fals. Sehingga komodifikasi lirik-lirik kritik sosial dalam lagu Iwan Fals tidak terelakkan lagi. Kondisi tersebut seperti yang dikatakan oleh Vincent Mosco, sebagai komodifikasi dimana barang atau jasa yang memiliki nilai guna ditransformasikan menjadi komoditi yang memiliki nilai jual di pasaran.
Diakhir tulisan sebenarnya ada pertarungan yang alot antara idealisme musisi dengan industri budaya. Tetapi akhirnya terjadinya kesepakatan antara kedua pihak yaitu untuk memproduksi produk yang kira-kira bakalan laku keras di pasaran. Lagu hanya menjadi produksi massal yang manipulatif demi profit yang maksimal. Itulah gambaran dari lirik-lirik lagu Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial yang menjadi konsumsi masyarakat. Masyarakat atau penikmat musik tergantung dengan hegemoni lirik-lirik pembebasan yang sebenarnya mengingkari makna kebebasan yang terkadung dalam lirik lagu-lagu tersebut.
Kebudayaan massa kapitalis terkomodifikasi tidak autentik karena tidak dihasilkan oleh msayarakat, manipulatif karena tujuan utamanya agar dibeli oleh konsumen. Kebudayaan kini sepenuhnya saling berpautan dengan ekonomi politik dan produksi kebudayaan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis.
Industri musik dibelakang nama besar Iwan Fals, telah memperoleh keuntungan yang cukup besar. Tidak hanya industri musik, musisi tersebut juga mendapatkan profit yang cukup tinggi, dengan agendanya menjual misi sosial demi kesenangan publik yang merasa terwakili oleh sentuhan lirik-lirik pembebasan Iwan Fals. Galang Rambu Anarki dan Bento adalah salah satu dari banyak lagu yang menjadi hits dan laris dipasaran.
Kondisi tersebut memperlihatkan adanya manipulasi budaya. Atau dengan bahasa lain, dalam analisis musik pop Adorno, bahwa asas pertukaran mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat.
Kepentingan ekonomi politik dibalik lagu-lagu yang bertemakan kritik sosial telah mengkaburkan esensi dari pesan moral yang disampaikan, dan terasa bias. Sehingga dibutuhkannya sebuah mekanisme kerjasama yang lebih sportif antara musisi yang idealis dengan industri musik yang beorientasi profit, agar semua kepentingan bisa terwakili dalam setiap produk budaya berupa lagu tersebut.
[Read More...]


 

Sahabat Siluet

Return to top of page Copyright © 2012 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors